JAKARTA-Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi penjelasan atas adanya perintah ke aparat penyelenggara pemilu ke daerah untuk menghentikan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
Perintah itu memunculkan dugaan adanya upaya tersistematis mengakali suara hasil pemilu, demi utak atik kursi berujung pada jatah Ketua DPR periode 2024-2029, dan atau demi meloloskan salah satu parpol tertentu pesanan penguasa ke Parlemen.
Deddy yang merupakan caleg PDI Perjuangan dapil Kalimantan Utara (Kaltara) mengaku kaget mendengar penghentian proses rekapitulasi suara pemilu di tingkat kecamatan di Kaltara.
“Ada informasi di daerah bahwa KPU Pusat memerintahkan penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. yang mana hal itu tak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan komisi II DPR,” katanya.
Menurutnya, penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, namun syaratnya dalam kondisi force majeure.
Yang dimaksud kondisi force majeure adalah seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.
“Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual,” kata Deddy.
Kalaupun alasannya force majeure memang benar adanya, lanjut Deddy, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak.
“Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” urainya.
Karena itulah muncul analisa dan kecurigaan publik dengan dugaan bahwa ada motif tertentu dibalik penghentian itu.
Yang pertama adalah menyangkut persaingan ketat PDI Perjuangan dengan Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di Pemilu.