Oleh: Benny Sabdo
“Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional,” (Indonesia Menggugat, pledoi Bung Karno 1930).
Suri teladan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa ibarat sebuah Mutiara.
Ketika bunga api memercik dari kilat, pijarannya menghantam laut.
Lalu, api bercampur dengan air, dan campuran api-air ini masuk menyusup ke dalam kulit kerang yang sedang terbuka. Maka, bakal mutiara dalam kulit kerang itu pun berkembang dengan perlahan-lahan menuju keindahannya.
Mutiara itu kemudian meloloskan diri dari kulit yang membungkusnya, tanpa merusak atau menghancurkannya.
Daging yang tidak sempurna itu ternyata telah memberikan jasanya bagi si mutiara.
Kisah mutiara ini menggambarkan Bung Karno sangat mencintai bangsa Indonesia hingga mengorbankan segalanya demi terciptanya Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Tahun ini kita memasuki tahun politik. Pada 14 Februari 2024 kita akan melangsungkan pemilu. Pemilu merupakan wujud kedaulatan rakyat.
Rakyat memilih pemimpinnya secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil.
Konstitusi kita memerintahkan, pemilu dilaksanakan secara ajeg setiap lima tahun sekali.
Pemilu yang bermartabat mesti menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
Semua peserta pemilu hendaknya taat hukum dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan pemilu.
Meskipun dalam praktik empiris peserta pemilu cenderung menghalalkan segala cara dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Oleh karena itu, lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu sangat relevan eksistensinya dalam pesta demokrasi elektoral.
Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Memang dalam tatanan demokrasi daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukkan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan.
Namun, karena sifat luhur manusia jualah kekuasaan dapat digunakan untuk kemaslahatan umat manusia, terutama untuk mengelola kehidupan bersama menuju kesejahteraan lahir dan batin.
Oleh karena itu, demokrasi merupakan tatanan kekuasaan yang mempunyai virtue yang menghargai martabat warganya.
Mewujudkan demokrasi bukan hanya sekadar membangun sistem, mekanisme dan prosedur politik, melainkan juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol itu dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, lembaga perwakilan dan birokrasi.
Namun upaya lain yang tidak kalah penting, yakni menanamkan tata nilai yang dapat menghadirkan roh yang menghidupkan, sekaligus menguatkan demokrasi.