JAKARTA– Pemerintah mesti melakukan investigasi yang komprehensif merespons polemik Al Zaytun.
Langkah apapun yang akan diambil oleh pemerintah harus berdasarkan bukti-bukti faktual dan berlandaskan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Karena itu, respons Pemerintah seyogianya diorientasikan pada pengungkapan kebenaran, perlindungan keamanan warga negara dan negara, serta penegakan hukum.
Menurut Direktur Eksekutif, SETARA Institute, Halili Hasan, investigasi yang bersifat komprehensif, dan bukan sekedar reaktif-populis, mendesak untuk dilakukan.
Sebab, polemik Al Zaytun cukup lama dan berulang, sejak Ponpes itu berdiri pada 1994 di atas lahan sangat luas sekitar 1.200 hektar yang disebut oleh sebuah media asing sebagai the largest Islamic madrasah in Southeast Asia.
“Sudah cukup banyak pandangan dan kajian yang memberikan sinyalemen awal keterkaitan Al Zaytun dengan NII,” jelasnya.
Selain itu lanjutnya, eksistensi Al Zaytun yang kokoh hingga kini juga banyak dikaitkan oleh publik dengan ‘bekingan’ intelijen dan militer.
Studi Human Security dan Security Sector Reform SETARA Institute mencatat, pada Pemilu 2004 kendaraan TNI bergerak dan melakukan mobilisasi massa guna melakukan pencoblosan di Kompleks Ponpes Al Zaytun.
“Dalam konteks itu, investigasi yang komprehensif akan menjamin terpenuhinya hak publik untuk mengetahui dan mendapat kebenaran (right to know and to truth),” ujarnya.
Dalam pandangan SETARA Institute jelasnya, pemerintah juga mesti bertindak adil.
Untuk itu, pintu masuk yang paling strategis untuk mewujudkan keadilan dalam polemik Al Zaytun adalah berkenaan dengan afiliasi pimpinan dan sistem Al Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagaimana disebut pada poin sebelumnya, juga pelanggaran-pelanggaran pidana yang dilakukan oleh entitas di dalam Al Zaytun, baik oleh individu maupun badan Al Zaytun sebagai Lembaga Pendidikan.
“Tindakan negara tidak boleh sekadar untuk memenuhi keinginan dan tuntutan massa,” imbuhnya.