JAKARTA-Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan utang pemerintah kerap dijadikan amunisi oposisi untuk melakukan serangan terhadap pemerintah.
Sayangnya, terkadang informasi yang disajikan tidak utuh dan rentan memprovokasi masyarakat.
“Utang pemerintah dijadikan “amunisi” serangan kelompok oposisi dan manula post power syndrome terhadap pemerintah. Namun informasi yang disajikan tidak utuh, rentan memprovokasi rakyat, sungguh sangat tidak elok,” kata Said di Jakarta, Senin (20/1/2023).
Menurutnya, untuk menilai utang pemerintah bisa mengacu pada beberapa pertimbangan penting; pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, perbandingan kebijakan utang dari berbagai negara, terutama dari negara negara yang sepadan dengan Indonesia.
Ketiga, credit rating dari berbagai lembaga internasional, dan keempat, kebijakan mitigasi resiko pengelolaan utang pemerintah.
“Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kita jadikan acuan agar jernih menduduk letakkan informasi tentang utang pemerintah secara proporsional,” ungkap Said.
Said menjelaskan bila mengacu laporan pemerintah melalui APBN 2022, jumlah utang pemerintah hingga Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun setara 39,57 persen produk domestik bruto (PDB).
“Meskipun dari sisi jumlah utang pemerintah lebih besar dibanding Desember 2021, yakni berjumlah Rp 6.908,87 triliun, namun rasio utang terhadap PDB pada tahun 2022 lebih rendah, dari 40,74 persen menjadi 39,57 persen,” jelasnya.
Ia menuturkan keseluruhan utang pemerintah hingga Desember 2022 terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6.846,89 triliun atau 88,53 persen dari total utang pemerintah, sisanya berupa pinjaman sebesar Rp 887,10 triliun atau 11,47 persen.
Berdasarkan keempat pertimbangan dan data utang pemerintah itu, kata Said, maka perlu uraikan lebih rinci.
Said menegaskan berpedoman pada undang-undang (UU) No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batas atas pinjaman (utang) pemerintah maksimal sebesar 60 persen dari PDB.
“Saat ini posisi utang pemerintah sebesar 39,57 persen PDB, artinya masih jauh di bawah ketentuan undang-undang, sehingga tidak ada norma peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan utang,” ucapnya.