Oleh: Yanuar Prihatin
Hari-hari terakhir banyak media mengutip pernyataan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar tentang penghapusan jabatan gubernur.
Usulan utama dari Cak Imin sebenarnya penghapusan pemilihan gubernur secara langsung, bukan pada penghapusan jabatan gubernur.
Penghapusan jabatan gubernur bukan hal pokok dan prioritas. Bisa iya, bisa juga tidak.
Tergantung efektivitas pemerintahan privinsi setelah dilakukan penataan ulang dalam pemilihan gubernur.
Kenapa pemilihan langsung gubernur perlu ditinjau ulang?
Pertama, pragmatisme politik dalam pemilihan langsung di Indonesia sudah pada tingkat membahayakan demokrasi, moral, mental dan akhlak para elit dan masyarakat.
Namun kitapun tidak bisa menghentikan anomali ini secara mendadak dan tanpa pertimbangan matang.
Kita harus mencari solusi yang paling mungkin untuk diterapkan.
Salah satunya adalah memangkas pemilihan langsung dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur.
Sehingga peluang untuk mengurangi materialisme dan pragmatisme politik menjadi berkurang dalam pilkada, yakni dalam pilkada di tingkat provinsi.
Kedua, konsep otonomi daerah di Indonesia bertumpu pada kabupaten/kota, bukan pada tingkat provinsi.
Sehingga tugas dan kewenangan gubernur sebenarnya terbatas. Lebih banyak berurusan dengan aspek administratif dan protokoler pemerintahan daerah. Tugas gubernur lebih berorientasi pada koordinasi, pengawasan, monitoring, sinkronisasi dan pelaporan.
Bila pemerintahan provinsi melakukan program-program sektoral itu lebih banyak karena tugas pembantuan dari pemerintah pusat, yakni dalam rangka pencapaian prioritas nasional.
Ketiga, posisi dan kedudukan gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Gubernur bukan kepala daerah yang otonom dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya.
Bila tugas dan kewenangannya terbatas, kenapa harus dipilih langsung? Kasihan calon-calon gubernur/wakil gubernur harus merogoh kocek yang besar untuk sebuah jabatan yang tidak otonom.