Oleh: Gonsa Joman
Pada tanggal 28 Oktober 2022, Gregorius Jeramu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Manggarai di Ruteng.
Dia menjadi tersangka dengan sangkaan menjual tanah miliknya sendiri kepada Pemerintah Daerah Manggarai Timur tanpa alas hak atau Sertipikat Hak Milik.
Perbuatan itu dipandang oleh Jaksa menimbulkan kerugian negara, sehingga Gregorius ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Kasus ini harus menjadi perhatian semua lembaga pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil yang terkait persoalan tanah dan hak-hak asasi manusia.
Harena mempunyai implikasi hukum yang teramat serius terhadap politik hukum agraria nasional dan arahan kebijakan nasional pembangunan dari Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.
Dalam konteks politik hukum agraria nasional, kebijakan agraria mengakui penguasaan tanah secara turun temurun sebagai alas hak atas tanah.
Kronologi penguasaan tanah menunjukkan secara nyata bahwa Gregorius menguasai tanah secara turun temurun selama lebih dari 20 tahun.
Bahkan sejak mendiang ayahnya sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun 1960).
Penguasaan secara turun temurun telah pula ditindaklanjuti oleh Pemerintah melalui kebijakan registrasi tanah maupun pengakuan tanah adat.
Sejak 1961, kebijakan sertipikasi tanah memberikan arahan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menjalankan proses percepatan sertipikasi tanah melalui program-program seperti PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria), LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah), PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap).