Oleh: MH. SAID ABDULLAH
Ketua Badan Anggaran DPR RI dan Ketua DPP PDI Perjuangan
Pandemi Covid19 telah berjalan setahun, bila kita rujuk sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pasien Covid19 pertama kali pada 2 Maret 2020.
Tanggap atas dampak penyebaran Covid-19 yang kian meluas, baik secara Kesehatan, ekonomi dan sosial, pemerintah kemudian mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangn (Perppu) No. 1 Tahun 2020. Perppu tersebut kemudian mendapat persetujuan DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020.
Salah satu poin penting yang diatur dalam Perppu adalah adanya kewenangan Pemerintah dalam menetapkan batasan defisit APBN, lebih dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun toleransi pelebaran defisit APBN lebih dari 3 persen PDB dibatasi waktu hingga tahun 2022.
Artinya, pemerintah hanya memiliki tiga tahun anggaran untuk menggunakan kesempatan tersebut.
Karena kita tidak memiliki kemewahan waktu, tiga tahun bukankah waktu yang lama.
Keberhasilan pemulihan ekonomi akibat pukulan pandemi menjadi syarat kita berhasil pada situasi “APBN normal”, yakni kembali ke defisit APBN maksimal 3 persen PDB, sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Syarat agar kita bisa kembali ke ‘APBN normal’ adalah pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke angka 5 persenan, terutama sektor sektor primer, penerimaan pajak dapat di terima dengan utuh, sektor riil dan keuangan tidak perlu banyak ditolong lagi dengan berbagai insentif pajak, pertumbuhan ekspor dan investasi secara prosentase berjalan dievel dua digit, program perlindungan sosial berhasil menahan lapis bawah lepas dari kemiskinan parah.
Sehingga sebagian anggaran subsidi dapat dialihkan ke sektor produktif, dan tingkat konsumsi pulih, terutama konsumsi kelas menengah atas yang selama pandemi menahan tingkat konsumsinya.
Atas asumsi ini, maka negara tidak membutuhkan belanja ekstra effort sebagai penopang tingkat konsumsi (demand side).