Oleh: Anthony Budiawan
Pemerintah nampaknya memerlukan berita sensasional yang dapat mencerminkan kinerja ekonomi yang mumpuni. Atau istilah populernya “pencitraan”. Karena kinerja ekonomi beberapa tahun belakangan ini kebanyakan didominasi berita negatif.
Salah satu berita sensasional tersebut adalah “Kekayaan” negara. “Tembus Rp10.000 triliun, kata Menteri Keuangan (Menkeu). Atau tepatnya Rp10.467,53 triliun per 31 Desember 2019. Terdengar sangat lucu.
Kenapa Menteri Keuangan baru sekarang mengumumkan data Neraca Keuangan negara tahun 2019. Padahal data tersebut sudah terbit sejak Juni 2020.
Bersamaan dengan itu, timbul pertanyaan publik apa arti Aset atau “Kekayaan” negara yang tembus Rp10.000 triliun itu? Apakah ada maknanya?
Secara tradisional, penyusunan Anggaran (APBN) umumnya menggunakan metode kas (cash basis).
Dalam hal ini, investasi publik seperti pembangunan jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan dan capital budgeting lainnya diperlakukan sama dengan belanja negara rutin lainnya, yaitu sebagai pengeluaran. Bukan investasi.
Perlakuan akuntansi seperti ini menimbulkan moral hazard. Politisi cenderung mengurangi investasi publik karena memberi manfaat jangka panjang, dan dianggap menguntungkan pemerintah mendatang.
Sedangkan yang diperlukan politisi saat ini adalah program jangka pendek untuk meningkatkan elektabilitas dan pencitraan.
Di lain pihak, investasi jangka panjang terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa dan kesejahteraan.
Untuk itu, banyak negara kemudian beralih ke metode akuntansi akrual di mana investasi publik tidak dibebankan kepada APBN sekaligus, tetapi dicatat sebagai Aset yang kemudian didepresiasi.
Nilai depresiasi ini yang menjadi beban pada anggaran operasional, dan menambah defisit anggaran.
Sebagai contoh, misalnya pemerintah membangun proyek irigasi sebesar Rp150 triliun. Kalau menggunakan cash basis, maka nilai Rp150 triliun ini masuk ke pos belanja negara, menambah defisit.
Sedangkan kalau menggunakan metode akrual, maka pembangunan irigasi dicatat sebagai Aset sebesar Rp150 triliun. Kalau umur Aset irigasi diperkirakan 15 tahun, maka nilai depresiasi irigasi menjadi Rp10 triliun per tahun, dan jumlah ini dibebankan kepada Anggaran selama 15 tahun.
Pada akhir tahun ke lima belas nilai aset sudah terdepresiasi sepenuhnya sehingga menjadi nol.
Artinya, Aset di dalam neraca Keuangan Negara tidak bermakna sebagai nilai komersial. Tetapi hanya sebagai alokasi beban anggaran menurut tahun manfaat Aset tersebut.