Oleh: Petrus Selestinus
Sejak tahun 2014 sampai dengan sekarang, sengketa pemilikan lahan seluas 30 Ha, yang setempat terletak dan dikenal oleh umum sebagai LahanToro Lemma, Batu Kalo, Labuan Bajo, tidak pernah ditempuh penyelesaian melalui meknisme Hukum Acara Perdata guna mendapatkan “Putusan Pengadilan Yang Berkekutan Hukum Tetap” yang menentukan siapa pemilik yang sah.
Mengapa diperlukan penyelesaian melalui mekanisme Perdata terlebih dahulu?
Oeh karena banyak pihak termasuk Pemda Mabar mengklaim diri sebagai pemilik sah atas 30 Ha lahan dimaksud, dengan data yuridis yang sangat sumir.
Pemda Mabar konon hanya memiliki Gambar Situasi tanpa memiliki Akta Peralihan Hak (AJB atau Akta Hibah) apa lagi SHM atau HGB yang sah, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Bupati Mabar Aguatinus Ch Dula sendiri, beberapa kali mengakui bahwa Pemda Mabar belum memperoleh status Hak Milik atau Hak lainnya atas lahan seluas 30 Ha, karena belum ada Akta Peralihan Hak (Akta Hiba, AJB atau Akta Peralihan Hak lainnya) secara Notariil di hadapan PPAT sebagai dasar pembuatan sertifikat hak atas tanah.
Langkah Prematur Kejaksaan
Karena itu menjadi aneh dan patut dipertanyakan adalah atas dasar apa Kejaksaan menempatkan Pemda Mabar sebagai pemilik lahan dan dijadikan sebagai dasar penyidikan tindak pidana korupsi serta menyangka pihak lain sebagai pelaku tindak pidana korupsi, karena menjual lahan seluas 30 Ha milik Pemda Mabar dengan menakar kerugian negara Rp. 3 triliun.
Meskipun Kejaksaan sudah melangkah jauh dalam proses pidana korupsi dan sebentar lagi akan menetapkan pihak lain sebagai tersangka, namun satu hal yang masih misteri adalah apa “bukti pemilikan Pemda Mabar atau alas hak atas lahan 30 Ha”.
Karena pembuktian pemilikan Pemda Mabar atas lahan seluas 30 Ha merupakan pintu masuk menentukan terbukti tidaknya dugaan korupsi dan memastikan kerugian negara yang nyata dan pasti.